BENCANA BANJIR DAN DILEMA METAPHYSICAL PATHOS
Oleh:
Achmad Murtafi Haris (Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya)
Banjir tahun baru 2020 yang konon terparah di Jakarta sepanjang sejarah meninggalkan polemik seputar cara penanggulangannya. Dua kata menjadi paling sering disebut terkait hal itu: Normalisasi dan Naturalisasi. Normalisasi menunjuk pada program Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebelumnya di bawah pimpinan gubernur saat itu secara berkesinambungan Jokowi, Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat. Yaitu program pengerukan dan perluasan sungai Ciliwung sepanjang 33km pelebaran sungai hingga 50m. Proyek multi years yang telah diawali pada 2012 itu baru terealisasi 16km sementara sisanya terhenti karena masalah pembebasan lahan dan perubahan kebijakan gubernur baru Anies Baswedan yang mencanangkan program Naturalisasi dalam mengatasi banjir Jakarta.
Penghentian program normalisasi yang kebetulan dibarengi dengan terjadinya banjir besar di Jakarta, menjadikan ide Naturalisasi yang diusung Anies seolah terbukti tidak efektif mengatasi banjir. Anies bersikeras mengatakan bahwa bencana banjir adalah akibat curah hujan yang terlampau tinggi. Ia di luar kuasa manusia untuk mengendalikannya. Menurut Anies, Hujan adalah fenomena alam yang harus diatasi secara alami (Naturalisasi). Yaitu air harus diserap ke dalam tanah dengan mewajibkan setiap warga menyediakan lahan serapan dan membuat lobang-lobang biopori penampung air hujan. Dengan demikian debit air hujan terlokalisir dan tidak mengalir ke luar rumah hingga menimbulkan banjir. Seberapa sukses program ini terlaaksana dan sejauh mana warga telah mentaati program Naturalisasi, yang pasti hujan deras telah mengakibatkan banjir yang tiada duanya itu.
Untuk mengantisipasi kemungkinan hujan lebat turun dengan volume di atas daya tampung program Naturalisasi, maka program Normalisasi adalah alternatif yang tidak bertentangan dengan ide Naturalisasi. Ide Normalisasi sebenarnya juga Naturalisasi. Obyek dari ide Normalisasi adalah sungai yang juga bagian dari alam dan dibuat alami. Sungai yang dangkal dikeruk dan yang sempit dilebarkan seperti sediakala saat masih alami dan belum terkontaminasi oleh ulah manusia yang merusak lingkungan.
Dua ide tersebut yang seolah bertolak belakang, dengan demikian sebenarnya adalah beririsan satu sama lain. Permasalahannya, mengapa satu pihak tidak mau mengikuti atau meneruskan program pemerintah sebelumnya, bukankah sebuah ide (tesa) selalu mendorong munculnya ide yang lain (anti-tesa) dan munculnya ide perpaduan (sintesa) yang sering disebut sebagai yang terbaik? Dan bukankah sekaliber kepala pemerintahan telah faham bahwa mencapai sintesa adalah keniscayaan karena ia menghimpun kelebihan masing-masing dari tesa dan antitesa. Di sini faktor sosial-politik berpengaruh besar.
Ide berawal dari sebuah asumsi yang terbentuk dari hasil dialektika sosial. Ia tidak muncul dari ruang kosong tapi dari ruang yang sudah berisi aneka hal. Lingkungan dengan ragam manusia berikut karakter dan orientasi masing-masing adalah dialektika sosial yang membentuk ide dan sikap manusia. Pertarungan politik dan pengelompokan sosial (segregasi) membentuk pandangan antisesis terhadap pandangan yang ada (tesis).
Di sini kecenderungan sebuah pandangan dipertahankan dan tidak, bukan semata alasan rasional empiris, tapi lebih banyak dipengaruhi oleh dialektika sosial-politik. Mereka yang berkontestasi politik harus memiliki ciri khas yang berbeda satu sama lain (diferensiasi). Ini tidak hanya pada simbol-simbol atribut yang nampak secara kasat mata sebagai identitas kelompok tapi juga dalam paradigma, sikap dan aksi. Garis demarkasi yang sengaja diciptakan ini, pada gilirannya menentukan apakah program yang telah berjalan diteruskan atau tidak? Biasanya, kalau penguasa yang baru dari afiliasi politik yang sama dengan yang lama, maka program yang lama dilanjutkan. Sebaliknya, jika berbeda afiliasi, maka tidak dilanjutkan.
Kecenderungan seperti ini, oleh Arthur Lovejoy tentang unsur-unsur ide, disebut dengan Metaphysical Pathos. Atau perasaan non-fisikal yang terlibat dalam munculnya sebuah ide. Ia, jika merujuk pada terma Pathology (ilmu penyakit masyarakat), kata Pathos di sini berarti ‘penyakit’. Yaitu, bahwa sebuah ide mengandung kelemahan dan keterbatasan yang disebabkan oleh demarkasi kelompok. Ketidakmaampuan menerima kebaikan atau sesuatu yang positif dari kelompok lain apalagi lawan, adalah bagian dari kelemahan sebuah ide. Untuk itu, dalam menulis obyek sejarah pemikiran, perlu diulas setting sosio-politik yang mempengaruhi munculnya sebuah karya pemikiran. Posisi pro dan kontra, tingkat ekstremitas dan sikap kompromis adalah respon terhadap kondisi yang ada.
Kembali ke perkara Normalisasi-Naturalisasi yang sebenarnya sederhana, dengan memadukan keduanya agar lebih efektif mengatasi banjir Jakarta, maka ketegangan sosial-politik Indonesia pasca pemilu, menjadi faktor dominan sulitnya mencapai ide sintesis tersebut. Masuknya Prabowo Subiakto dalam jajaran kabinet Jokowi-Makruf ternyata tidak membuat Anies Baswedan kompromis dengan program Normalisasi. Metaphisical Pathos dengan demikian adalah unsur ide yang harus dibenahi oleh para petinggi negeri ini agar pembangunan Indonesia tidak selalu terhenti oleh pergantian rezim penguasa. Kesinambungan pembangunan adalah niscaya dalam mencapai kemajuan negara. Tanpanya, akan banyak proyek yang mangkrak dan program yang tidak tuntas karena pergantian periodik penguasa. Haruskah gara-gara ini, pergantian penyelenggara negara secara periodik ditiadakan untuk menjamin kesinambungan pembangunan multi years? Cina telah mengadopsi itu sehingga masa kekuasaan Xi Jinping diperpanjang hingga seumur hidup. Atau sistem kesinambungan pembangunan nasional dan daerah yang harus diperkuat agar siapa pun rezim yang berkuasa kesinambungan harus dilakukan? Riak demokrasi yang muncul dari kontestasi politik cukuplah menjadi riak. Janganlah menghadang kesinambungan yang niscaya.