BERKAH “GELAS KOPI”: ANAK KULI MENJADI PERWIRA TNI
Oleh: Ahmad Zulal Abu Main*
Gagal 7 Kali Seleksi – Masuk UINSA Jalur SMS
Ahmad Zulal Abu Main, kelahiran Gresik 10 Agustus 1996. Lahir dari keluarga yang sederhana secara keuangan, namun mewah dalam kebahagiaan dan moral kehidupan. Lahir dari keluarga biasa, namun penuh dengan cita-cita. Bapak bekerja sebagai penjahit, buruh pabrik, terakhir kuli bangunan dan sekarang fokus istirahat di rumah. Sedangkan ibu bekerja sebagai pedagang kecil di Sekolahan Taman Kanak-kanak. Semenjak SMA sudah “mengasingkan” diri dari orangtua, hal demikian yang menyebabkan kami terbiasa hidup mandiri dan “tuatak” menjalani apapun kondisi kehidupan.
Perjalanan di UIN Sunan Ampel Surabaya bermula dari kegagalan mengikuti 7 kali tahapan tes seleksi. SNMPTN, SPAN PTKIN, SBMPTN, UM PTKIN, bahkan hingga seleksi mandiri masih dinyatakan tidak lolos menjadi mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya. Sekali layar terkembang surut untuk berpantang. Badan sudah terlanjur basah, semangat tak boleh patah mencari asa. Perjalanan selanjutnya mencoba mengikuti seleksi mandiri di kampus swasta, sudah dinyatakan masuk menjadi mahasiswa, berkas beasiswa bidikmisi siap untuk diajukan, dan tepat adzan dhuhur tiba-tiba sms masuk di HP dari Bagian Humas UINSA.

Dalam pesan singkat itu menyatakan bahwa “Selamat anda diterima di jurusan Hukum Tata Negara, dengan UKT Rp. 1.960.000 dan maksimal harus dibayarkan 3 hari setelah pesan ini diterima”. Saat itu yang terfikir di kepala, mungkin ini Jalan Tuhan, di tes-tes sebelumnya memikirkan jurusan yang terbaik, yang sekiranya punya prospek bagus di masa depan, ternyata Allah tidak mengizinkan, bahkan hingga tes berkali-kali. Allah kemudian menakdirkan masuk di jurusan yang tidak terfikirkan sebelumnya, tidak mengerti besok mau jadi apa, prospek masa depan bagaimana dan lain sebagainya. “Perhitungan manusia seringkali demikian, bisa jadi apa yang kita fikirkan itulah yang terbaik disisi kita, tapi menurut Allah tidak, dan pada akhirnya keputusan Allah menjadi jawaban atas segala upaya dan do’a do’a kita”.
Salah Jurusan – Ngelmu Seng Tenanan
Sebagian teman banyak yang merasa “salah jurusan” tapi pemikiran saya saat itu, Allah tidak mungkin memilihkan sesuatu yang salah, bukan jurusannya yang salah, tapi pemahamannya yang salah dalam memahami Takdir Tuhan yang diberikan pada kita. Yang terpikir kala itu yang terpenting orang tua ridho, ayah ibu ridho, niat kuliah mencari ilmu bukan mencari pekerjaan. Jawaban ibu saat itu “sak karepmu le, wong tuo mung biso dungakne, ora iso nyangoni lan mbiayai.” Meskipun saat itu juga terdapat konflik batin, kakak yang kurang setuju dengan alasan, “Iku jurusan opo? Tonggomu kuwi delok, pengacara tapi nganggur nang omah.” Tapi bagi saya, doa dan restu orang tua adalah modal yang utama dan pertama. Meskipun saat itu juga bingung, Surabaya itu dimana? UINSA kuwi nengdi ? Mbayar UKT piye? Mangan Turu Piye ? Penting Modal Yakin bismillah, berangkat modal doa orangtua. Alhamdulillah berkah doa orang tua, selama kuliah mendapat beasiswa bidikmisi, sehingga tidak terbebani dengan biaya kuliah hingga mendapat uang saku tiap bulannya.
Maindset pun berubah, kuliah yang terpenting bagaimana mencari ilmu dan pendidikan, bukan mencari pekerjaan. Pekerjaan adalah bonus dari usaha dalam mencari ilmu dan pendidikan. Hal demikianpun sebagaimana yang dikatakan oleh Almarhum Mbah Maimun Zubair, “Ngalim’o seng tenanan, ora usah mikir mbesok dadi opo, angger ngalim’e tenanan, mbesok bakalan biso dadi opo-opo.” Semenjak itu pola pikirpun dirubah, kuliah yang terpenting adalah bagaimana bisa memberikan yang terbaik di meja kuliah. Aktif bertanya hingga menanggapi di kelas, dekat bukan hanya kepada dosen tapi juga kepada pegawai kampus, aktif berorganisasi, sering mengikuti lomba, hingga turut dalam acara di Luar negeri.
Tukang Sapu, Tukang Pel dan Tukang Adzan Musholla
Tipikal mahasiswa dalam bersosialisasi di masyarakat diantaranya yakni: pertama, besar di kampus kecil di masyarakat. Mahasiswa kategori pertama ini sering aktif di organisasi kampus, sering menghandle kegiatan-kegiatan di kampus, kajian dari sore hingga malam, ngalor ngidul gowo buku, bahkan menduduki jabatan-jabatan tertentu, tapi “mengasingkan diri” di masyarakat sekitar, acuh tak acuh dalam kehidupan warga Wonocolo. Kedua, kecil di kampus besar di masyarakat, mahasiswa tipikal ini seringkali absen dalam perkuliahan, sering “numpang nama” ketika mengerjakan makalah, namun aktif di kehidupan masyarakat. Ketiga, mahasiswa yang besar di kampus, besar pula di masyarakat. Mahasiswa tipikal ini mencoba mensinergikan supaya hadirnya bisa tetap berkontribusi pada kampus, dan berkontribusi pada kehidupan masyarakat. Keempat, mahasiswa yang kecil di kampus, kecil pula di masyarakat. InsyaAllah mahasiswa UINSA tidak ada yang termasuk dalam kategori yang keempat.

Tentu masing-masing mahasiswa mempunyai karakter tersendiri untuk bisa mensinergikan kehidupan di bangku kuliah dan kehidupan nyata di masyarakat. Bagi pribadi saya menjadi marbot musholla adalah pilihan agar tetap bisa kuliah dengan baik namun tetap bisa bersosial dengan kehidupan masyarakat, meskipun hanya sekadar menjadi tukang sapu dan tukang pel Musholla. Terhitung mulai masuk kampus tahun 2014 hingga tahun 2020, menjadi marbot di Musholla Al Ikhlas, Jemurwonosari gang lebar no 86. Cara demikian lumayan untuk menghemat pengeluaran untuk biaya hidup di Surabaya, baik untuk biaya kos/kontrak hingga uang makan. Karena seringkali tetangga yang mengirim sarapan, mengundang untuk acara syukuran, selametan atau tahlilan. Bahkan tidak sedikit pula yang menawarkan untuk menjadi “calon mantu.” Istilahnya, jangankan makanan, anak gadisnya saja diberikan.
Itulah keberkahan, dan tidak boleh dijadikan tujuannya. Niatnya mengabdi saja, Lillah untuk Allah, menjadi pegawainya Allah dengan niatan meramaikan musholla, niatnya untuk berdakwah, dan tentunya supaya lebih dekat dengan kehidupan sosial warga. Kalau kita berjuang demi Allah, pasti Allah akan bantu kehidupan kita, kuliah kita, memperlancar urusan kita, beasiswa kita, dan masa depan kita. Gelar marbot musholla adalah kebanggan bagi pribadi saya, bahkan lebih bangga dengan status marbot musholla di banding jabatan apapun. Karena yang menjadi bos adalah Allah, yang menjadi atasan adalah Allah. Tentu ketika kita punya bos dan pimpinan, tentu kita akan berusaha semaksimal mungkin untuk melaksanakan apa yang menjadi perintahnya dan menjauhi apa yang dilarang.
Kontribusi dan Kualitas bukan Promosi atau Popularitas
Dosen sekaligus mentor di komunitas debat hukum UINSA, Bapak Lutfil Anshori, MH sering mengatakan kepada kami, “Jadilah Mahasiswa yang berprestasi, jadikan prestasi itu adalah testimoni diri, yakinilah bahwa kemenangan dalam perlombaan bukan hanya untuk diri sendiri, tapi untuk jurusan dan fakultas bahkan kampus UINSA Surabaya.” Beliau yang banyak merubah mindset di teman-teman komunitas debat hukum, bahwa kuliah itu jangan hanya terus-terusan berdemo, meminta hak atas fasilitas kampus yang kurang, namun tidak memberikan daya tawar dan kontribusi lebih kepada pihak kampus. Karena sesungguhnya hidup adalah bukan tentang seberapa besar yang bisa kita terima, akan tetapi tentang seberapa besar yang bisa kita berikan. Menjadi mahasiswa yang ada karena kualitas dan bukan mencari popularitas, menjadi mahasiswa yang ada karena prestasi, dan bukan promosi.
Alhamdulillah berkah bimbingan beliau beserta doa para guru, prestasi-prestasi yang diraih diantaranya :

Berkah “Gelas Kopi” Menjadi Perwira TNI
6 bulan yang lalu, masuk keluar kampus membawa dandang berisi cilok. Sembari melanjutkan beasiswa pascasarjana di UINSA. Cilok itu merupakan buatan ibu di Gresik yang kemudian dititipkan melalui bis Bojonegoro-Surabaya. Ba’da Shubuh langsung bergegas menyiapkan lapak dagangan, dan menjemput cilok di terminal Bungurasih. Alhamdulillah meskipun hanya berdagang cilok, tapi kala itu bisa membuka 2 outlet yang bertempat di Gang Dosen dan juga gang IAIN. Memang kala itu saya sedang bersemangat untuk bisa membuka banyak outlet, meskipun hanya outlet cilok.
6 bulan yang lalu pula, masih menjadi tukang aduk gelas kopi guru-guru kami di Sekretariat IKA UINSA. Menjadi fulltimer, membuatkan kopi, membersihkan kamar mandi, menyiapkan tempat ketika ada rapat, bahkan hingga menjadi tukang kora-kora. Tak sedikit cibiran yang terdengar ditelinga kala itu, seperti “S2 kok dadi kongkonan tuku sego neng kantin,” dan berbagai macam lainnya. Namun itulah bumbu-bumbu kehidupan, asalkan halal kenapa tidak? Tidak seberapa penting penilaian manusia kepada kita, hidup yang meletihkan adalah yang salah fokus, fokus pada perasaan diri, fokus pada penilaian manusia dan bukan penilaian Allah semata. Hidup ini sebenarnya mudah, yang menjadikan susah adalah rasa gengsi yang ingin terlihat mewah.
Niat saat itu adalah Ikhlas mengabdi, karena terfikir, UINSA telah memberikan beasiswa mulai dari S1 hingga S2, mungkin ini adalah sebagian cara untuk berkontribusi bagi kemajuan UINSA. Niatan memang hanya untuk mencari keberkahan dari guru-guru kami. Kalau kisah klasik di pesantren yakni santri yang diperintah oleh Kyainya untuk gembala bebek, tanpa pernah Ngaji dan tiba-tiba ketika pulang sudah memahami ilmu agama yang kuat dan mumpuni. Santri yang tugasnya ngiseni jeding’e kyai tiba-tiba pulang menjadi orang yang lebih bermanfaat. Pun demikian yang saya yakini, menempatkan diri menjadi santri, meskipun saya sendiri tidak pernah mondok di pesantren. Sebagai santri tentunya apapun perintah kyai adalah suatu kehormatan, dan itulah sumber keberkahan. Kalau kata Gus Boby, barokah kuwi le ora nampak kasat moto, nanging tetep biso dirasakno.

Keberkahan kampus UINSA itulah yang banyak saya rasakan dalam berbagai kehidupan. Secara perhitungan manusia, saya tidak akan masuk sebagai perhitungan TNI. Berat badan awal ketika seleksi adalah 44 kg, tinggi 163 cm, gigi depan patah sebagian, bahkan baru belajar berenang H-2 tes nasional. Pun ketika tes nasional lupa gerakan kaki dan tangan saat berenang, walhasil hanya sampai 15 meter. Tapi kemudian Allah malah menakdirkan saya masuk menjadi Perwira Khusus Rohaniawan TNI. Itulah yang saya yakini, keberkahan dari para guru, para dosen, meskipun hanya menjadi tukang olah gelas kopi.
Hidup ini memang seringkali malah menciutkan nyali kita, siapa kita? darimana kita? siapa orang tua kita? bisa apa kita? dan lain-lain pemikiran akal yang malah membuat semangat kita kendur, maka keberkahan adalah senjata utama. Keberkahan menjadikan yang tidak mungkin menjadi mungkin, yang tidak bisa menjadi bisa, yang sulit menjadi mudah, yang mustahil menjadi nyata, bahkan yang berat menjadi ringan. Keberkahan itu diatas perkiraan perkiraan, diatas teori-teori para cendekiawan, diatas angka angka yang katanya penuh kepastian, diatas persepsi persepsi manusia sebagai ciptaan dan diatas segala galanya. Tentang bagaimana keajaiban keberkahan, keajaiban sebuah panjatan, keajaiban sebuah impian, keajaiban sebuah keyakinan. Ketika semuanya tidak memungkinkan, akal fikiran telah lelah untuk menemukan jawaban, yakinlah pada Tuhan dan Keberkahan. Maka tugas kita adalah mencari sebanyak-banyaknya keberkahan hidup, darimanapun asal sumber keberkahan itu, baik dari guru-guru kita, dosen-dosen kita, kampus UIN Surabaya dan lain sebagainya. Akhir kata, mohon doa para guru, para dosen, para senior, semoga senantiasa diberikan kemudahan dan kelancaran oleh Allah. Aamiin ….
Sampai kapanpun rasa syukur yang tak terukur menjadi alumni UINSA tercinta, kampus 1001 keberkahan.
Markas Besar TNI Angkatan Laut,
Cilangkap Jakarta
*Letda Laut (KH) Ahmad Zulal Abu Main, SH, MH.
Perwira Khusus Rohaniawan TNI Angkatan Laut
Alumni Jurusan Hukum Tata Negara Fak.Syariah dan Hukum UINSA Angkt. 2018
Magister Hukum Tata Negara Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya
– @abumainromli