ISLAM HARUS MENJADI SARANA PENGUAT RELASI ANTARMASYARAKAT INDONESIA-TIONGKOK
UINSA Newsroom, Ahad (24/01/2021); Dalam rangka merayakan 70 tahun hubungan diplomatik antara Indonesia dengan Tiongkok, Pusat Kajian Indonesia-Tiongkok Fakultas Ilmu Soisal dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Sunan Ampel (UINSA) Surabaya bekerja sama dengan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia mengadakan webinar Internasional pada Juma’t, 22 Januari 2020 yang dilaksanakan secara virtual menggunakan platform Zoom dan disiarkan streaming melalui saluran Youtube FISIP UINSA. Webinar ini sekaligus menampilkan hasil riset kolaborasi kedua belah pihak yang telah rampung pada November 2020 lalu.
Webinar Internasional ini dibuka Prof. H. Masdar Hilmy, S.Ag., M.A., Ph.D., selaku Rektor UINSA Surabaya. Dilanjutkan sambutan dari H.E. Mr. Djauhari Oratmangun selaku Duta Besar Republik Indonesia untuk Republik Rakyat Tiongkok dan Mongolia, serta sambutan dari H.E. Mr. XIAO Qian selaku Duta Besar Republik Rakyat Tiongkok untuk Republik Indonesia yang diwakili Qiu Xin Li. Rektor UINSA dan Duta Besar kedua negara sepakat, bahwa hasil riset ini merupakan kontribusi luar biasa yang dapat memperkokoh relasi Indonesia dan Tiongkok. Baik di level formal kenegaraan maupun di level masyarakat.

Webinar ini menampilkan tiga orang penanggap ahli. Tanggapan pertama disampaikan Yenny Wahid, politikus sekaligus Direktur The WAHID Institute. Menurutnya, masyarakat Indonesia dan Tiongkok terkait erat dengan sejarah peradaban kedua bangsa. Namun begitu, ia menekankan rasa optimismenya, bahwa Islam dapat menjadi sarana bagi terciptanya relasi antarmasyarakat Indonesia dan Tiongkok di masa mendatang. “Banyak bidang kerjasama yang dapat dieksplor oleh kedua negara. Salah satunya adalah pengembangan industri halal,” ujar Yenny Wahid.
Di tengah meningkatnya tren global akan pariwisata halal, lanjut Yenny Wahid, Indonesia dan Tiongkok dapat bekerjasama membangun industri halal yang saling menguntungkan. Putri pertama Gus Dur itu pun menyampaikan, bahwa pluralisme dan toleransi beragama di Indonesia adalah pengetahuan yang patut dibagi kepada Tiongkok. “Pengalaman menjalankan tradisi toleransi antarumat beragama adalah nilai unggul bangsa Indonesia,” tegas Yenny Wahid.
Pandangan mengenai hasil riset juga disampaikan Vice Chairman China Islamic Association, Ustad Jin Rubin. Ia menyampaikan, bahwa Indonesia dan Tiongkok adalah sahabat. Relasi Indonesia dan Tiongkok dapat dilacak melalui budaya Islam yang ada di kedua negara. Ia pun mencontohkan adanya masjid Chenghoo di Surabaya yang mana menjadi bukti bahwa Islam diterima di bangsa manapun.
Presiden Jokowi pun memiliki hubungan baik dengan umat Muslim di Tiongkok. Presiden Jokowi beserta rombongan pemerintah RI pernah mengunjungi Masjid Niujie di Beijing pada tahun 2017. Ia menyampaikan pesan agar masyarakat kedua bangsa bersatu dalam perbedaan karena sejatinya kedua negara mempunyai sejarah yang mirip. Keduanya sama-sama menjadi negara tempat penyebaran Islam. Saat ini pun keduanya adalah negara berkembang. Maka, upaya yang harus ditempuh untuk mempererat relasi adalah dengan saling berkunjung, saling mengenal, dan saling belajar satu sama lain. Ia pun menitikberakan agar masyarakat kedua bangsa saling berbagi pengetahuan, khususnya di bidang keIslaman, seperti pendidikan Islam dan manajemen masjid.

Tanggapan terakhir disampaikan Profesor Xu Liping, akademisi senior dari Chinese Academy of Social Sciences. Profesor yang juga mengepalai Pusat Studi Asia Tenggara ini mengingatkan, bahwa relasi antarmasyarakat Indonesia dan Tiongkok berawal sejak jaman kerajaan/dinasti. Bahkan para Sunan Wali Songo pun dikenal memiliki nama berbahasa Mandarin. Mengutip istilah ‘tak kenal maka tak saying,’ ia memaparkan bahwa untuk mengenal bangsa Indonesia maka harus pula mengenal Islam. Untuk membangun people-to-people connectivity yang mendalam, ia mendorong kedua bangsa untuk bekerjasama menghadapi persoalan bersama, misal penyelesaian pandemi COVID-19, pengangguran, ekstrimisme, dengan cara berdialog dan bertukar pengalaman sehingga tercipta pemahaman yang sama. Isu lain yang layak digarap bersama adalah bidang Islamic tourism, fashion, dan finance.
Di akhir webinar, Dr. Siswo Pramono, Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan (BPPK) Kementerian Luar Negeri RI, menyampaikan dukungan dan optimismenya terhadap relasi Indonesia dan Tiongkok yang lebih erat di masa mendatang. Baginya, kedua bangsa memiliki potensi yang luar biasa bila bekerjasama tidak hanya di level formal kenegaraan tetapi juga di level masyarakat. Islam dapat menjadi faktor penghubung atau jembatan masyarakat kedua negara. Keterlibatan aktif masyarakat tentu dapat mendorong proses terciptanya hubungan yang harmonis kedua negara. “Masukan dari ketiga panelis sangatlah berharga dan menjadi pertimbangan bagi pemerintah Indonesia, khususnya Kementerian Luar Negeri RI, dalam pengambilan kebijakan di masa-masa mendatang,” tukas Dr. Siswo Pramono. (rd/vr/fisip)