KIAT MERAIH ISTIQAMAH
فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَمَنْ تَابَ مَعَكَ وَلَا تَطْغَوْا ۚ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar (istiqamah), sebagaimana diperintahkan kepadamu, dan (juga) orang yang telah taubat bersamamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sungguh Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan (QS. Hud [11]: 112).
Topik ini saya pilih untuk menjawab pertanyaan yang paling sering diajukan dalam berbagai kajian. Menurut Ibnu Abbas r.a, di antara ayat-ayat perintah istiqamah (tetap berada di jalan yang lurus), ayat inilah yang paling berat dirasakan Nabi, bahkan menyebabkan rambutnya beruban. Nabi merasa ayat ini tidak hanya sebuah perintah, tapi tamparan keras baginya. Ketika ditanya, kata apa dalam ayat ini yang menyebabkan rambuntnya beruban, Nabi menjawab, “Kata, “fastaqim kama umirta (tetaplah di jalan yang lurus sebagaimana telah diperintahkan kepadamu).” Sejak itu, ia mengulang-ulang pesannya, “Bersungguh-sungguhlah (dalam beragama).” Sejak itu pula, ia tidak pernah tertawa terbahak-bahak. (HR. Ibnu Abi Hatim dan Abu Asy-Saikh melalui Hasan).
Ayat ini turun, sebab serangan fisik, psikis dan pemikiran yang dilakukan orang kafir terhadap Nabi semakin gencar, sehingga nyaris memengaruhi keimanan Nabi dan para sahabat. Allah berfirman,
وَلَوْلَا أَنْ ثَبَّتْنَاكَ لَقَدْ كِدْتَ تَرْكَنُ إِلَيْهِمْ شَيْئًا قَلِيلًا إِذًا لَأَذَقْنَاكَ ضِعْفَ الْحَيَاةِ وَضِعْفَ الْمَمَاتِ ثُمَّ لَا تَجِدُ لَكَ عَلَيْنَا نَصِيرًا
Dan, kalau Kami tidak menguatkan (hati)mu, niscaya kamu hampir terpengaruh untuk mengikuti mereka. Jika hal itu terjadi, maka Kami sungguh akan memberimu siksa yang berlipat di dunia dan begitu (pula siksaan) berlipat sesudah mati. Dan, tidak akan ada seorang pun yang menolongmu menghadapi (siksaan) Kami (QS. Al Isra [17]: 74-75).
Bentuk konkrit istiqamah dalam beragama, antara lain seperti yang dikatakan Nabi SAW,
اِنَّ اللهَ فَرَضَ فَرَائِضَ فَلَاتُضَيِّعُوْهَا وَحَدَّحُدُوْدًا فَلَا تَعْتَدُوْهَا وَحَرَّمَ اَشْيَاءَ فَلَا تَنْتَهِكُوْهَا وَسَكَتَ عَنْ اَشْيَاءَ رَحْمَةًلَكُمْ غَيْرَنِسْيَانٍ فَلَاتَبْحَثُوْاعَنْهَا
Sungguh Allah telah menetapkan beberapa kewajiban, maka jangan ditinggalkan. Dia juga menetapkan beberapa batasan, maka jangan melampauinya. Dia juga menetapkan beberapa larangan, maka jangan dilanggar. Dia juga sengaja tidak menjelaskan beberapa hal, semata-mata untuk rahmat bagimu, bukan karena Allah lupa, maka janganlah mendiskusikannya (HR. Ad Daruquthni dari Abu Tsa’labah Al Khusyaniyyi r.a).
Dalam kitab Tanqihul Qawlil Hatsiits Fii Syarkhi Lubaabil Hadits karya Syekh An Nawawi Al Bantany (t.th:16) dijelaskan, iman bisa meningkat dengan ketaatan beribadah, dan bisa berkurang akibat suatu dosa. Beliau juga mengutip perkataan Ibnu Abbas, Abu Hurairah dan Abud Darda, r.a bahwa “Iman itu bertambah dan berkurang. Bertambah, jika seseorang melakukan perintah dan meninggalkan larangan, serta ikhlas dan senang menerima apa pun takdir, tidak meragukan janji Allah tentang rizki, sabar, dan tawakal. Intinya, iman tidak bisa bertambah hanya dengan menjalankan shalat dan puasa semata.”
Ayat di atas mengingatkan kita untuk tidak berlebihan dalam beragama, sehingga menyulitkan hidup. Secara tidak langsung, ayat ini memerintahkan sikap moderat dalam beragama, dengan tetap berada pada titik tengah antara dua ekstrimitas, yaitu tidak berlebihan dan tidak mengurangi ajaran agama.
Ada delapan cara agar kita bisa istiqamah dalam beragama, yang saya singkat PERMAI PATAS. Pertama, permohonan. Mohonlah kepada Allah untuk istiqamah, sebab hanya Allah yang bisa memberinya. Nabi mengajarkan doa, “Ya muqallibal qulub tsabbit qalbi ala dinik (wahai Allah yang mengendalikan hati, tetapkan hatiku dalam agama-Mu” (HR. At Tirimidzi). Kedua, makanan. Jauhilah yang syubhat (tidak jelas halalnya) dan haram, sebab keduanya bisa menghapus kekuatan beribadah, seperti motor yang diisi minyak goreng, bukan bahan bakar, sesuai dengan petunjuk pabriknya. Ketiga, iman. Perbarui iman setiap saat dengan menghayati kalimat tauhid, tahmid, tasbih, takbir, dan hamdalah. Keempat, pembimbing. Carilah ustad, guru, atau pembimbing yang Anda percaya bisa membinging pengamalan agama secara disiplin. Allah berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tetaplah bersama orang-orang yang benar.” (QS. At Taubah [9]: 119).
Kelima, Alquran. Upayakan tiada hari tanpa bacaan Alquran, sekalipun sedikit, sebab ia adalah sumber cahaya dan penguat iman (QS. An Nahl [16]: 102). Keenam, tahapan. Lakukan ibadah-ibadah sunah secara rutin secara bertahap, mulai dari yang sederhana. Misalnya, bertekadlah untuk shalat sunah sebelum dan sesudah shalat zuhur, shalat duha, dan sebagainya. Allah menyukai perbuatan yang kontinyu meskipun sedikit (HR. Muslim). Ketujuh, akui kesalahan dan segeralah istighfar, jika melakukan kesalahan. Kedelapan, selektif teman. Artinya, carilah teman yang benar-benar menambah semangat ibadah, bukan sebaliknya.
Semoga tulisan ini menjadi penyemangat kita untuk meraih istiqamah, dan mempertahannya sampai akhir hayat.
Sumber: (1) Hamka, Tafsir Al Azhar, juz 12, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1985, p. 138-139 (2) Qureish Shihab, M, Tafsir Al Misbah, vol 5 Penerbit Lentera Hati, Jakarta, 2012, p. 764-768. (3) Syekh An Nawawi Al Bantany, Tanqihul Qawlil Hatsiits Fii Syarkhi Lubaabil Hadits, Maktabah Ahmad Nabhan, Surabaya, t.th, p.16.