NALAR AGAMA MELAWAN PANDEMI*
Oleh: Prof. H. Masdar Hilmy, S.Ag., M.A., Ph.D.
(Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya, penyintas Covid-19)
Jika dipetakan secara tipologik, di masyarakat dijumpai sekurangnya dua peran agama yang saling bertentangan dalam perang melawan Covid-19: peran produktif dan peran kontradiktif. Peran produktif adalah ketika agama digunakan sebagai amunisi dalam mendukung penanggulangan Covid-19. Sebaliknya, peran kontradiktif terjadi ketika agama justru dijadikan sebagai alat untuk menggerus ikhtiar perang melawan pandemi.
Sepanjang masa pandemi, kedua peran tersebut benar-benar ada dan berdialektika di masyarakat. Di masa-masa awal pandemi, bahkan narasi agama dijadikan sebagai alat propaganda oleh segelintir individu untuk mementahkan keberadaan Covid-19. Sebagian ada yang menganggap bahwa pandemi sebagai akal-akalan pihak tertentu untuk meruntuhkan semangat keberagamaan (teori konspirasi); tidak boleh takut melawan virus tetapi takutlah hanya kepada Allah; urusan mati bukanlah karena virus melainkan takdir Allah; dan seterusnya.
Disonansi kognitif
Namun pada masa sekarang ini, terutama di tengah “mengamuknya” varian baru Delta Covid-19, kebanyakan masyarakat kita semakin sadar dan waspada terhadap realitas ancaman Covid-19. Kengerian menghantui di segala penjuru. Kematian begitu dekat dengan kita. Ia menghampiri dan merenggut orang-orang terdekat, bahkan anggota keluarga kita. Kabar duka datang silih berganti tak ada putus-putusnya melalui kanal media sosial. Fenomena kematian dan penguburan jenazah korban Covid-19 mengentakkan kesadaran terdalam masyarakat bahwa kematian akibat Covid-19 benar-benar nyata dan tidak bisa diremehkan.
Di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, lalu-lalang dan bunyi sirene ambulan semakin mendramatisasi suasana batin masyarakat kota. Tingkat penularan (positivity rate), keterisian ruang perawatan RS (BOR/bed occupancy rate), sulitnya mendapatkan ruang perawatan hingga fenomena telantarnya sejumlah pasien di RS semakin menguatkan derajat kepercayaan publik atas ancaman Covid-19 yang semakin nyata. Perlahan namun pasti, pihak-pihak yang semula menyangsikan keberadaan Covid-19 sekarang terdiam seribu bahasa melihat “parade kematian” yang begitu menyayat hati.
Di sini sebenarnya tengah terjadi apa yang disebut sebagai “disonansi kognitif”. Yakni, ketika nalar tidak berfungsi secara konsisten dalam mencerna fenomena kehidupan ini. Di satu sisi kebanyakan masyarakat kita memercayai hal-hal gaib, terutama karena hal ini merupakan bagian dari rukum iman. Di sisi lain, kognisi mereka belum bisa teryakinkan oleh realitas Covid-19 yang juga tidak kasat mata. Kesadaran dan keyakinan mereka baru benar-benar berubah ketika mereka menyaksikan korban telah berjatuhan di mana-mana. Dalam ungkapan yang agak hiperbolis, mereka benar-benar tertegun ketika kematian menjadi “kenormalan baru” yang tak terbantahkan.
Keterbelahan nalar
“Disonansi kognitif” terjadi akibat keterbelahan nalar di ruang publik dalam memersepsi pandemi: antara nalar induktif-positivistik sains di satu sisi dan nalar deduktif-normatif agama di sisi lain. Keduanya seolah tidak memiliki hubungan sama sekali, bahkan dikesankan saling bertabrakan secara diametral. Akibatnya, penerapan protokol kesehatan (prokes) dalam peribadatan dianggap sebagai penggerusan “pakem” agama. Selain itu, regulasi tentang pengaturan rumah ibadah dan aktivitas peribadatan selama pandemi dianggap akan mengerdilkan, bahkan meruntuhkan, agama.
Pengambilan jenazah Covid-19 secara paksa oleh pihak keluarga yang terjadi di sejumlah RS menjadi contoh lain penyangkalan nalar publik atas kebijakan negara yang masih terbelah. Mereka menghendaki tata cara dan ritual pemulasaraan dan pemakaman jenazah harus berlangsung dalam bingkai tradisi keagamaan. Mereka meyakini bahwa prokes tentang pemulasaraan dan pemakaman jenazah Covid-19 melanggar pakem tradisi keagamaan yang dapat berkonsekuensi pada penelantaran nasib arwah di alam kubur.
Beruntunglah, perlahan namun pasti, kondisi masyarakat sekarang ini relatif lebih well-informed dengan seluk-beluk Covid-19. Secara umum telah terjadi proses transformasi nalar publik ke arah yang lebih positif terhadap realitas pandemi. Proses transformasi masyarakat dalam menyikapi Covid-19 tentu saja tidak terlepas dari narasi positif-produktif yang dikembangkan secara simultan dan konsisten oleh para ilmuwan, agamawan, tokoh masyarakat, elite politik dan sejumlah lembaga ormas dalam mengampanyekan ancaman nyata Covid-19 beserta seluruh aspeknya.
Pembobotan nalar keagamaan
Oleh karena itu, tantangan penanganan Covid-19 ke depan adalah bagaimana agar kebijakan pemerintah tidak dihadang oleh nalar keagamaan di tingkat akar rumput. Di sinilah keterbelahan nalar harus segera diatasi melalui pembobotan nalar keagamaan pada setiap kebijakan publik dalam penanggulangan Covid-19. Hal ini dimaksudkan agar nalar kebijakan publik tidak terceraikan dari nalar keagamaan. Keberhasilan keterpaduan antara kedua nalar tersebut diukur, salah satunya, dari minimnya resistansi masyarakat atas kebijakan dimaksud.
Arab Saudi merupakan salah satu negara yang berhasil mengatasi pembelahan antara nalar sekuler dan nalar keagamaan dalam setiap kebijakan publik terkait penanggulangan Covid-19. Mungkin saja keberhasilan tersebut tidak semata terkait dengan absennya resistansi oposisional dari sejumlah kelompok kepentingan, namun juga terkait dengan skema bantuan sosial sebagai dispensasi atas dampak kerusakannya di tingkat akar rumput. Sebagai akibatnya, penutupan dua masjid besar sebagai pusat peribadatan haji—masjidil haram di Mekkah dan masjid Nabawi di Madinah—tidak diikuti kontroversi dan resistansi berlebihan di masyarakat.
Dalam konteks ini, pidato singkat Wapres RI, KH Makruf Amin, dalam acara malam takbir virtual Idul Adha 1442 H, patut diapresiasi. Dengan mengutip pendapat ulama terkemuka Syekh Nawawi Al-Bantani, Wapres menegaskan soal perlunya ketaatan publik terhadap seluruh regulasi penanganan pandemi yang berbasis kemaslahatan publik. “Menaati peraturan pemerintah yang di dalamnya mengandung kemaslahatan umum hukumnya wajib mu’akkad atau sangat wajib”, demikian sergahnya. Narasi semacam ini merupakan upaya positif dalam “penubuhan” (embodiment) narasi keagamaan ke dalam kebijakan publik yang diharapkan dapat mereduksi kontroversi dan resistansi publik.
Di samping itu, keberfungsian nalar keagamaan dalam setiap kebijakan penanggulangan pandemi dapat dimaksimalkan dalam dua tataran sekaligus; tataran preventif dan kuratif. Secara preventif, narasi keagamaan dapat digunakan sebagai basis argumentasi penerapan karantina wilayah (baca: PPKM darurat). Strategi semacam ini pernah dilakukan oleh pemerintah kota New York dengan cara mengutip Hadis Nabi Muhammad SAW di salah satu videotron: “jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tetapi jika wabah terjadi di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu” (HR Bukhari).
Jika perlu, ajakan pemerintah untuk memerangi Covid-19 harus dimaknai sebagai “perang suci” (jihad) yang sesungguhnya di era pandemi dan kematian yang diakibatkan olehnya tergolong mati syahid sebagaimana Hadis Nabi “barang siapa mati karena wabah maka dia mati syahid” (HR Bukhari). Sebagai upaya terakhir, doa bersama secara virtual menjadi strategi preventif yang diharapkan dapat memompa imunitas tubuh melalui efek placebo (placebo effect) atau efek sugesti dalam diri setiap individu. Semoga!
*Artikel telah dipublish pada Harian Kompas edisi Jumat, 30 Juli 2021.