UINSA: Panen Profesor
Oleh: Prof. Nur Syam, Guru besar UINSA Surabaya
Satu kata yang terekam dari WAG UINSA adalah “kita panen professor”. Ungkapan ini tentu tidak berlebihan sebab hari ini, Rabo, 31 Maret 2021, terjadi pengukuhan terhadap enam guru besar, yang SK Professornya sudah ditandatangani oleh Mendikbud, Nadiem Anwar Makarim, beberapa saat yang lalu. Kegembiraan ini tentu sangat besar di tengah keinginan untuk menambah jumlah guru besar di UIN Sunan Ampel Surabaya.
Akhir-akhir ini memang banyak PTKIN yang menambah jumlah guru besarnya, misalnya UIN Sunan Gunung Jati Bandung dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dan kini UINSA juga memperolehnya. Itulah sebabnya semua civitas akademika UINSA bersyukur atas kejadian langka pengukuhan guru besar sebanyak enam dosen sekaligus. Di masa lalu pengukuhan guru besar dilakukan satu persatu. Sehingga jika ada enam orang guru besar yang dikukuhkan maka akan terdapat enam kali pengukuhan.
Untuk menjadi professor di saat sekarang memang terasa lebih rumit dibandingkan dengan memperoleh professor di masa lalu. Sampai tahun 2010-an, saya kira begitu jarangnya gelar kehormatan tertinggi bagi dosen itu diperolehnya. Pada saat itu belum terdapat persyaratan seperti menulis di Jurnal Internasional terindeks Scopus. Kala itu selama seorang dosen sudah bergelar doctor dan sudah menulis buku, jurnal nasional, dan ketercukupan Penetapan Angka Kredit (PAK) maka sahlah yang bersangkutan untuk memperoleh pengakuan sebagai professor. Namun demikian sangat jarang dosen yang bergelar doctor untuk memperoleh gelar professor. Di masa sekarang, untuk menjadi professor harus menulis di Jurnal internasional terindeks Scopus dan hal ini bukan sesuatu yang mudah. Sungguh sulit untuk bisa menulis di jurnal bereputasi internasional dengan standart yang tegas. Seseorang bisa membutuhkan waktu dua atau tiga tahun untuk bisa menulis di Jurnal terindeks Scopus, baik Q1,2,3 dan seterusnya. Namun jika standart ini sudah dipenuhi, maka peluang untuk memperoleh gelar guru besar sangat terbuka.
Kali ini pengukuhan para professor dilakukan oleh Rektor UIN Sunan Ampel, Prof. Masdar Hilmy, MA, PhD. Biasanya pengukuhan professor dipimpin oleh Ketua Senat Akademik, namun karena Prof. Dr. Akhwan Mukarrom, MA wafat beberapa saat yang lalu, maka pengukuhan dilakukan dengan cara dan proses yang berbeda. Diikuti oleh sebagian besar anggota Senat UIN Sunan Ampel, maka prosesi pengukuhan dilakukan mulai jam 8.30 WIB sampai pukul 12.00 WIB. Acara yang sungguh menarik sebab pengukuhan professor dengan cara seperti ini tentu sangat berbeda dengan biasanya.
Yang dikukuhkan di dalam acara pengukuhan professor adalah: Prof. Dr. Muh. Fathoni, MAg, Prof. Dr. RR. Suhartini, MSi., Prof. Dr. Masruhan, MAg., Prof. Dr. Imam Mawardi, MA., Prof. Dr. Jauharotu Alfin, dan Prof. Dr. Zakki Fuad, MAg. Prof. Muh. Fathoni mengangkat tema orasi ilmiah yang berjudul “Pergumulan Hukum Islam dan Hukum Adat pada Masyarakat Tengger di Pegunungan Bromo”. Sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Hukum Islam pada Fakultas Syariah dan Hukum, Prof. Fathoni menyatakan bahwa terdapat akomodasi antara hukum Islam dan Hukum adat di Masyarakat Tengger. Akomodasi tersebut bisa diamati dari corak negosiasi antara hukum Islam dan Hukum Adat, misalnya dalam konsep “Walagara”.
Prof. Suhartini mengangkat tema “Struktur Bangunan Religiositas Mahasiswa di Musim Pandemi dalam Tinjauan Teori Strukturasi Giddens”. Prof. Suhartini menyatakan bahwa perilaku manusia ditentukan oleh struktur religiositas. Teori strukturasi Giddens relevan untuk mengkaji perilaku mahasiswa di era pandemic Covid-19, yang perilaku tersebut ternyata berbasis pada struktur religiositasnya. Ada alasan-alasan yang dikemukakan oleh mahasiswa dalam perilaku tersebut.
Prof. Jauharotu Alfin, mengangkat tema “Bahasa Indonesia sebagai Medium dan Agency Pendidikan”. Menurut Prof. Alfin, bahwa Bahasa Indonesia sangat potensial untuk menjadi medium dan agensi pendidikan. Hal ini tentu terkait dengan masyarakat Indonesia yang multicultural dan plural, sehingga dengan keberadaan kesatuan Bahasa dalam pendidikan akan bisa menjadikan pendidikan lebih berkesetaraan. Di Indonesia tidak hanya menjadikan Bahasa Indonesia sebagai medium pendidikan tetapi juga agensi pendidikan. Artinya bahwa Bahasa Indonesia harus diberlakukan sebagai sesuatu yang tidak terpisah tetapi saling “menjadi”. Teks sebagai representasi subyek dan subyek sebagai representasi teks.
Prof. Prof. Ah. Zakki Fuad di dalam orasinya ilmiah yang berjudul “Hi-Tech. Hi-Touch and Hi-Teach, Konstruksi Teoretik dan Implementatif Pendidikan Menuju Generasi Milenial Kafah (G-MK)”. Prof. Zakki Menyatakan bahwa para guru sedang menghadapi generasi milenial dengan berbagai talentanya, sehingga para guru juga harus beradaptasi dengan dunia siswa milenial tersebut. Di dalam kerangka ini, maka para guru harus menjadi guru kaffah, yaitu guru yang sempurna di mata kaum milenial. Itulah sebabnya program Pendidikan, khususnya para guru harus berplatform “Hi-Tech, Hi-Touch and Hi-Teach”. Guru harus memahami dunia berbasis pendidikan digital.
Prof. Masruhan, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, mengangkat tema: “Kajian Hadis di Indonesia (studi Kontribusi Ulama, Organisasi Sosial Islam dan PTKIN)”. Di dalam orasinya disampaikan bahwa para ulama, organisasi sosial keagamaan dan PTKIN memiliki kontribusi yang sangat signifikan dalam pengembangan kajian ilmu hadis. Para ulama, organisasi sosial keagamaan dan PTKIN menjadi penyangga penting dalam kerangka mengeliminasi terhadap paham-paham keagamaan yang menyimpang, misalnya kelompok inkarus sunnah.
Prof. Imam Mawardi menyampaikan orasi ilmiah dengan tema “Menemukan Wajah Damai Hukum Islam melalui Maqasid al Shariah as a Total Approach”. Terdapat beberapa pertanyaan dasar “Bagaimanakah sesungguhnya wajah hukum Islam? Mengapa ada kekakuan, kekerasan dan kegarangan? Di manakah misi damai terdapat? Jawabannya bahwa pengaplikasian nalar dan pendekatan maqasid al shariah secara totalitas diharapkan mampu menampilkan wajah asli hukum Islam yang progresif dan penuh damai”.
Pengukuhan professor di UINSA memang terasa sangat special sebab jumlah professor di UINSA menjadi bertambah. Dan pengukuhan kali ini merupakan pengukuhan guru besar yang ke 64, 65, 66, 67, 68 dan 69 tahun 2021. Tembahan enam professor ini terasa sangat membanggakan tetapi sekaligus juga bernuansa kesedihan karena dua orang professor UINSA telah dipanggil oleh Allah SWT, yaitu Prof. A. Faishal Haq dan Prof. Akhwan Mukarrom. Harapan civitas akademika UINSA adalah agar pertambahan guru besar ini akan semakin mengokohkan posisi UINSA sebagai PTKIN yang unggul, kompetitif dan berjaya baik di lingkup nasional maupun internasional.
Wallahu a’lam bi al shawab.